Cinta itu pengorbanan! Teriak lantang seseorang yang kebetulan gagah-berani, yang tubuhnya sedikit berlemak, banyak berotot. Cinta itu pengorbanan?? Tunggu dulu. Bah, pengorbanan apa yang telah kita lakukan demi si dia tercinta? Hujan-hujanan mengantarnya pulang? Sepayung berdua, dan membiarkan sisi kita yang lebih banyak terkena air hujan? Atau pengorbanan saat membatalkan belasan jadwal keluarga untuk menemaninya ke dokter gigi dua kali seminggu? Mengurangi kesenangan pribadi demi menungguinya berjam-jam saat ujian? Itu sih bukan pengorbanan. Atau kalau mau tetap dibilang pengorbanan, ya kelasnya rendah sekali.
Yang kelasnya lebih tinggi? Seperti kita rela mati demi si dia? Aih, hari gini masih bicara nonsense. Bukankah kita malah sering bilang “dasar bodoh” kepada pelakunya saat membaca (misalnya) seorang ibu bunuh diri bersama tiga anak-anaknya yang masih kecil. Padahal boleh jadi bagi Ibu tersebut itulah wujud cinta sejati dengan anak-anaknya. Hidup bersama, mati juga bersama. Atau kita justru mengangkat alis tidak bersimpati saat membaca sepasang kekasih ditemukan mati berpelukan di pinggir sungai dengan botol baygon beberapa tahun silam (karena cinta mereka dilarang oleh orang-tua). Lupakan soal memang betapa bodoh keputusan mereka, tapi setidaknya hal ini menunjukkan seberapa baik kita memahami soal pengorbanan, tentang keputusan heroik.
Cinta itu pengorbanan? Ah, tanyakanlah soal ini pada kepiting merah di cadas pantai Pulau Christmas, Australia. Tahukah kita? Saat mereka melepas ribuan butir telur anak2nya ke laut. Mereka akan berdiri gagah berani di bebatuan cadas yang tajam-tajam, kokoh menyambut ganasnya ombak. Kepiting yang jalannya saja tak lurus itu, tahu persis mereka bisa mati saat ombak melempar mereka ke kerasnya cadas, cangkangnya akan retak, kepalanya akan pecah. Hanya segelintir dari mereka yang selamat. Tapi mereka tidak peduli. Telur-telur itu hanya bisa dilepas persis ketika ombak menjilat tubuh mereka, dan mereka bersiap menyanyikan lagu heroik. PENGORBANAN. Itulah ritus pengorbanan setiap tahun yang hebat, melepas telur-telur.
Cinta itu kesetiaan? Seru lantang seseorang yang kebetulan memuja kata setia sepanjang hidupnya. Yang setiap hari berusaha tidak bergeming dari rasa setianya pada si dia tercinta, meski si dia sudah tidak mungkin lagi dimiliki. Bah! Lihatlah sekitar kita, teman. Presenter hebat itu jelas-jelas sudah menikah lebih dari 30 tahun, dan perceraian itu tetap terjadi. Hanya demi gadis lain yang lebih muda. Lebih menarik (tentu saja). Lantas di mana janji setia itu? Yang boleh jadi terucap hot nian waktu masa-masa pacaran dulu. Atau contoh yang lain lagi, simaklah! Dai kondang itu sudah menikah puluhan tahun, memiliki banyak anak, dulu hidup susah bersama, tapi tetap memutuskan untuk berpoligami. See? Lantas di mana saat-saat romantis yang rajin terlihat di media massa? Ah, saat ini saya benar-benar tidak berkepentingan membahas soal boleh-tidak. Kontroversi, dll. Saat ini kita sedang membahas tentang cinta, sedang berusaha menggugah kita tentang pemahaman yang selama ini terlanjur diyakini.
Sekali lagi apakah cinta itu kesetiaan? Well, tanyakanlah urusan ini pada penyu-penyu. Meski jalannya lambat, nyebelin nunggunya, apalagi dipandang mata. Penyu adalah bentuk sempurna di muka bumi atas makna sebuah KESETIAAN. Saat mereka lahir, saat tukik penyu merangkak menyambut semburat cahaya matahari pagi, saat mereka bergerak bagai manuver tank amfibi berbaris menuju lautan untuk pertama kalinya, saat itulah janji setia mereka terucap. Mereka akan berenang, berpetualang mengelilingi dunia, puluhan ribu mil, menjejak benua-benua jauh. Laut-laut terdalam. Bertemu ribuan kehidupan lainnya. Boleh jadi tubuh mereka penuh luka, tersayat jala nelayan, tersiram minyak polusi. Boleh jadi mereka bertemu dengan penyu lokal di benua sana, yang lebih seksi nian di mata mereka, boleh jadi…. Tapi mereka setiap tahun pasti akan kembali ke pantai saat tukik mereka dulu merayap pertama kali. Kembali! Untuk bertemu dengan cinta sejati mereka. Untuk bertelur…. Inilah ritus hebat ribuan tahun tentang KESETIAAN. Tahukah kalian berapa umur penyu? Di antara mereka ada yang bisa mencapai 300 tahun! Kalian bisa setia selama itu?
Cinta itu soal keindahan? Ah, tahu apa kita soal keindahan dibandingkan burung merak. Saat mereka sedang “jatuh cinta”, berusaha menggoda si dia, maka mereka akan membuka lebar-lebar bulu ekor mereka yang seperti kipas. Sejuta warna di sana. Sejuta motif pula. Itulah keindahan yang mahal sekali harganya, karena bulu ekor itu justru memancing binatang pemangsa lainnya, terutama manusia yang suka sekali memburu “keindahan” burung merak. Data statistik menunjukkan mereka terancam punah karena urusan ekor ini, padahal salah apa coba ekor mereka?
Teman, saya tidak sedang berusaha mendoktrin kita tentang pemahaman baru. Saya hanya berusaha memetakan masalah ini agar lebih proporsional. Boleh saja jika kita tetap bilang cinta itu kesetiaan. Boleh saja kita tetap bertahan, menunggu, tidak bergeming. Ini justru baik dan membanggakan dalam banyak kasus. Tapi jika kesetiaan itu untuk hal yang bodoh, tidak rasional lagi, atau malah menyakiti diri sendiri, tentu urusannya menjadi lain.
Saya amat meyakini cinta itu amat sederhana. Jika ada seseorang yang bertanya apa pertanda kalau ia sedang jatuh cinta, maka jawabannya akan sederhana pula. Misalnya: jika kita merasa terganggu saat si dia bicara soal gadis lain, tidak nyaman saat dia bicara soal mantan-mantannya dulu. Itu jelas kita mulai menyemai perasaan tersebut. Jika kita mulai ingin tampil lebih menarik di depannya, itu lagi-lagi jelas pertanda sederhana. Apalagi saat kita mulai selalu ingat, selalu ingin bersama, bahkan wajahnya memenuhi kepala kita, anak kecil saja tahu kalau kita memang sedang jatuh-cinta.
Jika urusan ini memang sederhana, maka janganlah dibuat rumit. Saya kadang kehilangan kata-kata saat mendengar cerita pertengkaran, keluhan, curhat, dan apalagi saat mendengar orang-orang berkata “It’s complicated”. Kalau memang terlihat rumit, LUPAKANLAH! Itu jelas bukan cinta sejati kita. Cinta sejati selalu sederhana…. Pengorbanan yang sederhana, kesetiaan yang tidak menuntut apapun, dan keindahan yang apa-adanya….
Terakhir, saya ingin menutup tajuk ini dengan sebuah kisah yang sering kali kita dengar. Bahkan mungkin pernah kita baca berkali-kali karena dire-posting di mana2. Akan saya ceritakan ulang (karena sy tdk tahu siapa penulis pertama kisah ini, jd sy tdk bisa merujukkan namanya)…. Tentang seorang gadis yang diberikan kesempatan berbelanja “cinta” di sebuah toko “Calon Suami”. Ada enam lantai di toko tersebut dengan masing-masing kelompok calon suami, setiap gadis yang masuk bisa memilih cintanya di setiap lantai dengan satu SYARAT: "Anda hanya dapat mengunjungi toko ini SATU KALI" Dan jika sudah naik ke lantai berikutnya, sama sekali tidak boleh turun. Lalu, seorang gadis pun pergi ke toko "suami" tersebut untuk mencari calon suaminya.
LANTAI 1 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan dan taat pada Tuhan. Wanita itu tersenyum, kemudian dia naik ke lantai selanjutnya.
LANTAI 2: Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, dan sayang anak kecil. Kembali wanita itu naik ke lantai selanjutnya.
LANTAI 3: Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, sayang anak kecil dan cakep
banget. ” Wow”, tetapi pikirannya masih penasaran dan terus naik.
Lalu sampailah wanita itu di lantai 4 dan terdapat tulisan LANTAI 4: Lelaki di lantai ini yang memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, sayang anak kecil, cakep banget dan suka membantu pekerjaan rumah. ”Ya ampun !” Dia berseru, ”Aku hampir tak percaya.”
Dan dia tetap melanjutkan ke lantai 5 dan terdapat tulisan seperti ini: LANTAI 5: Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, sayang anak kecil, cakep banget, suka membantu pekerjaan rumah, dan romantis.
Dia tergoda untuk berhenti tapi kemudian dia melangkah terus ke lantai 6. Tapi apa yang dia temukan? Ya ampun hanya terdapat tulisan seperti ini: LANTAI 6: Anda adalah pengunjung yang ke-4.363.012. Tidak ada lelaki di lantai ini. Lantai ini hanya semata-mata bukti untuk wanita yang tidak pernah merasa puas. Terima kasih telah berbelanja di toko "Suami". Hati-hati ketika keluar toko dan semoga hari yang indah buat anda.
Pesan moralnya? Kesempatan tidak datang dua kali. Terimalah cinta kita dengan sederhana, katakan dan jalanilah dengan sederhana pula. Dengan demikian, semoga cinta sejati kita justru membuat iri seluruh semesta alam, termasuk si kepiting, penyu, dan burung merak tadi.
taken from tere liye's note